Tuesday 24 March 2015

TO MANURUNG DI SINJAI

Tahapan perkembangan sejarah Sinjai ataupun tahaan perkembangan Kerajaan di Sinjai secara umum berawal dari adanya To-Manurung yang diyakini oleh sebagian besar warga di Sulawesi Selatan sebagai orang yang turun dari langit. Namun menurut Muhannis (2004) hal ini pun perlu diluruskan karena tidak sesuai dengan kenyataan yang ada pada saat itu. Bagi beliau To-Manurung sebenarnya hanyalah merupakan suatu rekayasa dari orang-orang yang memiliki kepentingan politik untuk meraih simpati atau sekedar untuk menguatkan ikatan sesuai dengan tujuannya. Seperti kasus To-Manurung di Luwu adalah meruakan hasil rekayasa dari kerajaan di Jawa untuk mengamankan jalur perdagangan besi yang waktu itu hanya dihasilkan di sekitar danau Matano. Aktivitas ini diawali oleh Majapahit dengan rajanya yang terkenal Rajasanagara (Hayam Wuruk) pada paruh ke dua abad XIV yang memerintahkan Patih Gajah Mada untuk meluaskan pengaruhnya di luar Pulau Jawa. Bukti kehadirannya adalah bahwa dalam lontara sakral Karampuang tertulis bahwa To-Manurung pertama di Karampuang berasal dari Manjappa atau Majapahit, bukti lain adalah adanya nama kampung yang merupakan tofomin Jawa seperti Dema (Demak) yang terletak di dekat pasar sentral Sinjai. Carumbang di Sinjai Barat adalah nama salah satu pusat kekuasaan Singosari di Jawa Timur. Demikian pula dengan To-Manurung di Gowa-Tallo sebagai upaya pengamanan dari bajak laut dari jalur perdagangan besi, sehingga mengangkat orang Bajo atau turijenne sebagai suami dari To-Manurung pertama di Gowa-Tallo.
                To-Manurung yang ada di Sinjai juga muncul karena adanya perebutan pengaruh dikalangan raja-raja yang ada di Sulawesi Selatan, pada masa itu terjadi kekacauan yang dilakukan oleh bajak-bajak laut yang berasal dari kepulauan Sulu Philipina yang dibantu oleh Kaisar Ming dari Tiongkok. Apalagi saat itu ada perintah dari Kaisar Ming kepada Yang Lob untuk menguasai Laut Cina Selatan, Lautan Hindia dan Laut Jawa dan sekitarnya. Kehadiran pengacau bajak laut ini juga dikenal di Sinjai dan menjadi alasan utama pendirian benteng Balangnipa oleh raja-raja di Sinjai. Para bajak laut itu mengambil markas di Pulau Balunru’e (Burunglohe), pulau Same (Kambuno), serta pulau Batang Lambere (Batang Lampe). Keadaan ini tentu saja akan mempengaruhi kekuataan kerajaan Majapahit yang telah memegang hegemoni kekuasaan.
                Untuk mengamankan Nusantara ini, maka kerajaan besar di Jawa berupaya untuk menggalang kerjasama dengan raja-raja yang ada di Selawesi Selatan termasuk di Sinjai. Karena pada masa itu masyarakat masih terkotak-kotak dalam beberapa wanua dengan pimpinan kharismatik yang memerintah terbatas yang disebut dengan tomatoa, maka sulit untuk melakukan kerjasama karena masing-masing wanua bersifat otonom layaknya negara berdaulat. Untuk memajukan menjadi sebuah kerajaan maka dibuatlah rekayasa dengan mendatangkan seseorang dengan kharisma dan kebesarannya sehingga dipercaya sebagai sosok yang turun dari langit.
                Wanua dengan penduduk terbatas itu menghuni sebuah kawasan dengan jumlah penduduk yang terbatas dan kawin di antara sesamanya. Dan apabila ada yang hendak kawin ke dalam kelompoknya maka pria tersebut diharuskan membayar pallaha tanah yang berlaku hingga kini. Salah satu strategi untuk menjadikan beberapa wanua tersebut menjadi sebuah kerajaan, maka digabunglah wanua-wanua itu, sehingga menjadi kuat. Pemersatunya adalah To-Manurung itu sendiri. Nama-nama To-Manurung awal di Sinjai menyiratkan pula suatu nama yang berhubungan dengan Majapahit yang saat itu bernama Budha Hinaya antara lain nama Manurungnge ri Ujung Lohe yakni Barakelling dan Mara Kose. Kata Barakelling berasal dari bahasa Kawi yaitu Bhre artinya raja dan Kelling artinya takut. Jadi Barakhelling artinya raja yang ditakuti atau disegani. Demikian pula kata Mara Mose berasal dari bahasa kawi yaitu Mara artinya dewi sedangkan Mose berasal dari kata moksa yang artinya kelepasan atau alim. Jadi Mara Mose artinya gadis yang alim. Dalam sejarah Kerajaan Singosari nama ini dikenal dan pernah berkuasa pada tahun 1222-1229 M.

                To-Manurung dalam Lontara Tondong dan Bulo-Bulo disebutkan bahwa To-Manurung pertama yang muncul adalah seseorang yang diberi gelar Puatta Manurungnge ri Wawo Tonro atau Puatta Mula Timpangengngi Tanae yang kawin dengan anak dari To-Manurungnge ri Dampang Ujunglohe Bulukumba. To-Manurung ini melahirkan dua orang anak yaitu Sappe Ribulu (wanita dan tidak kawin) dan menjadi raja pertama di Tondong serta La Barubbu Tana atau juga sering disebut Barumpung Tanae yang akhirnya menjadi raja di Bulo-Bulo. Jejak-jejak keberadaan mereka sebagai To-Manurung masih dapat di lihat hingga kini walau dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. To-Manurung lain juga banyak ditemukan di wilayah Sinjai seperti Karampuang, Caile, Patontongan, Ale Karunrun Manimpahoi, dan Turungeng.

No comments:

Post a Comment