Tahapan perkembangan sejarah Sinjai ataupun tahaan
perkembangan Kerajaan di Sinjai secara umum berawal dari adanya To-Manurung yang diyakini oleh sebagian
besar warga di Sulawesi Selatan sebagai orang yang turun dari langit. Namun
menurut Muhannis (2004) hal ini pun perlu diluruskan karena tidak sesuai dengan
kenyataan yang ada pada saat itu. Bagi beliau To-Manurung sebenarnya hanyalah merupakan suatu rekayasa dari
orang-orang yang memiliki kepentingan politik untuk meraih simpati atau sekedar
untuk menguatkan ikatan sesuai dengan tujuannya. Seperti kasus To-Manurung di Luwu adalah meruakan
hasil rekayasa dari kerajaan di Jawa untuk mengamankan jalur perdagangan besi
yang waktu itu hanya dihasilkan di sekitar danau Matano. Aktivitas ini diawali
oleh Majapahit dengan rajanya yang terkenal Rajasanagara (Hayam Wuruk) pada
paruh ke dua abad XIV yang memerintahkan Patih Gajah Mada untuk meluaskan
pengaruhnya di luar Pulau Jawa. Bukti kehadirannya adalah bahwa dalam lontara
sakral Karampuang tertulis bahwa To-Manurung
pertama di Karampuang berasal dari Manjappa atau Majapahit, bukti lain adalah
adanya nama kampung yang merupakan tofomin Jawa seperti Dema (Demak) yang terletak di dekat pasar sentral Sinjai. Carumbang di Sinjai Barat adalah nama
salah satu pusat kekuasaan Singosari di Jawa Timur. Demikian pula dengan To-Manurung di Gowa-Tallo sebagai upaya
pengamanan dari bajak laut dari jalur perdagangan besi, sehingga mengangkat
orang Bajo atau turijenne sebagai
suami dari To-Manurung pertama di
Gowa-Tallo.
To-Manurung yang ada di Sinjai juga muncul karena
adanya perebutan pengaruh dikalangan raja-raja yang ada di Sulawesi Selatan,
pada masa itu terjadi kekacauan yang dilakukan oleh bajak-bajak laut yang
berasal dari kepulauan Sulu Philipina yang dibantu oleh Kaisar Ming dari
Tiongkok. Apalagi saat itu ada perintah dari Kaisar Ming kepada Yang Lob untuk
menguasai Laut Cina Selatan, Lautan Hindia dan Laut Jawa dan sekitarnya.
Kehadiran pengacau bajak laut ini juga dikenal di Sinjai dan menjadi alasan
utama pendirian benteng Balangnipa oleh raja-raja di Sinjai. Para bajak laut
itu mengambil markas di Pulau Balunru’e (Burunglohe), pulau Same (Kambuno),
serta pulau Batang Lambere (Batang Lampe). Keadaan ini tentu saja akan
mempengaruhi kekuataan kerajaan Majapahit yang telah memegang hegemoni
kekuasaan.
Untuk
mengamankan Nusantara ini, maka kerajaan besar di Jawa berupaya untuk
menggalang kerjasama dengan raja-raja yang ada di Selawesi Selatan termasuk di
Sinjai. Karena pada masa itu masyarakat masih terkotak-kotak dalam beberapa wanua dengan pimpinan kharismatik yang
memerintah terbatas yang disebut dengan tomatoa,
maka sulit untuk melakukan kerjasama karena masing-masing wanua bersifat otonom layaknya negara
berdaulat. Untuk memajukan menjadi sebuah kerajaan maka dibuatlah rekayasa
dengan mendatangkan seseorang dengan kharisma dan kebesarannya sehingga
dipercaya sebagai sosok yang turun dari langit.
Wanua dengan penduduk terbatas itu
menghuni sebuah kawasan dengan jumlah penduduk yang terbatas dan kawin di
antara sesamanya. Dan apabila ada yang hendak kawin ke dalam kelompoknya maka
pria tersebut diharuskan membayar pallaha
tanah yang berlaku hingga kini. Salah satu strategi untuk menjadikan
beberapa wanua tersebut menjadi
sebuah kerajaan, maka digabunglah wanua-wanua
itu, sehingga menjadi kuat. Pemersatunya adalah To-Manurung itu sendiri. Nama-nama To-Manurung awal di Sinjai menyiratkan pula suatu nama yang
berhubungan dengan Majapahit yang saat itu bernama Budha Hinaya antara lain nama
Manurungnge ri Ujung Lohe yakni Barakelling dan Mara Kose. Kata Barakelling berasal
dari bahasa Kawi yaitu Bhre artinya
raja dan Kelling artinya takut. Jadi Barakhelling artinya raja yang ditakuti
atau disegani. Demikian pula kata Mara
Mose berasal dari bahasa kawi yaitu Mara
artinya dewi sedangkan Mose berasal
dari kata moksa yang artinya
kelepasan atau alim. Jadi Mara Mose artinya
gadis yang alim. Dalam sejarah Kerajaan Singosari nama ini dikenal dan pernah
berkuasa pada tahun 1222-1229 M.
To-Manurung dalam Lontara Tondong dan
Bulo-Bulo disebutkan bahwa To-Manurung pertama
yang muncul adalah seseorang yang diberi gelar Puatta Manurungnge ri Wawo Tonro atau Puatta Mula Timpangengngi Tanae yang kawin dengan anak dari To-Manurungnge ri Dampang Ujunglohe Bulukumba.
To-Manurung ini melahirkan dua orang
anak yaitu Sappe Ribulu (wanita dan tidak kawin) dan menjadi raja pertama di
Tondong serta La Barubbu Tana atau juga sering disebut Barumpung Tanae yang akhirnya menjadi raja di Bulo-Bulo.
Jejak-jejak keberadaan mereka sebagai To-Manurung
masih dapat di lihat hingga kini walau dalam kondisi yang sangat
memprihatinkan. To-Manurung lain juga
banyak ditemukan di wilayah Sinjai seperti Karampuang, Caile, Patontongan, Ale
Karunrun Manimpahoi, dan Turungeng.
No comments:
Post a Comment