Thursday 26 March 2015

PEREBUTAN KEKUASAAN KERAJAAN-KERAJAAN DI SINJAI

Sebagai sebuah kawasan strategis, keberadaan kerajaan-kerajaan yang ada di Sinjai menjadi incaran dari kekuatan besar yang ada. Pada masa itu kerajaan-kerajaan di Sinjai terpilah-pilah tampa ada tokoh pemersatu yang menjadi pemegang kekuasaan. Keadaan tersebut rawan menimbulkan konflik diantara mereka pada masa ekspansi kerajaan Gowa-Tallo, dan di sisi lain Kerajaan Bone juga sedang gencar-gencarnya memasukkan pengaruhnya pada kerajaan-kerajaan yang ada di Sinjai.
Untuk merekatkan hubungan itu, maka Raja Bone ke VII La Tenriawe Bongkangnge membentuk suatu persekutuan yang akhirnya dikenal dengan Lamung Patue ri Topekkong sebagai upaya menahan laju ekspansi kerajaan Gowa-Tallo yang telah menaklukkan Bulukumba pada tahun 1511. Perjanjian itu sendiri menjadikan kerajaan kembar Tondong, Bulo-Bulo dan Lamatti bersekutu dengan nama Tellu Limpoe. Perjanjiannya dikenal dengan Lamung Patue ri Topekkong. Antara mereka tidak ada sebagai pemimpin, dalam harapannya disebutkan dengan Dua Temmallaiseng, Tellu Temmassarang. Di wilayah pegunungan juga membentuk suatu aliansi yang disebut dengan Pitu Limpoe yang dimotori oleh Arung Turungeng cucu dari To-Manurung Lawaru.

Dengan terbentuknya dua aliansi ini mejadikan Sinjai memiliki nilai tawar yang sangat tinggi, sehingga hampir tidak pernah manjadi daerah taklukan secara lansung dari kerajaan Gowa-Tallo maupun kerajaan Bone. Sinjai diposisikan sebagai passiajingeng. Posisi semacam ini tetap diakui Gowa-Tallo maupun Bone walaupun Bulo-Bulo pernah dalam perangnya menghadapi Bone dibawah pimpinan Raja Gowa-Tallo ke X Manrio Gau Daeng Tunipallangga Ulaweng Bonto Dillo yang berkuasa di Gowa-Tallo pada tahun 1564. Perjanjian Topekkong sendiri diikuti Arung Tondong yang bernama I Yottong Daeng Rampa, Raja Bulo-Bulo I Lamappasokko dan Lamatti La Padenrengi Tadampalie, pada tahun 1564. Mediator dalam perjanjian ini adalah Kajao Laliddong, seorang negarawan kerajaan Bone.

No comments:

Post a Comment