Dalam naskah
sejarah daerah Kabupaten Barru yang bersumber dari Lontara Barru, bahwa yang
mula-mula memberi nama Barru ialah “Keluarga yang datang dari Luwu yang
dipimpin oleh Lawara Malluajeng yang
juga digelar Puang Ribulu Puang Ri Campa”.
(Tim penyusun Barru, 1997 : 1). Adapun maksud kedatangan orang Luwu itu adalah
untuk mencari tempat dimana air dewata yang berpindah yang sekian lama
sebelumnya dipelihara di tempat asalnya Luwu. Namun pada suatu ketika tiba-tiba
menghilang dan diperkirakan di tempat lain.
Menurut kepercayaan
orang tersebut air dewata tersebut memiliki kesaktian dan merupakan pusaka
raja-raja turun-temurun, warisan dari batara guru, yang barang siapa tetap
memilkinya ia mempunyai kharisma atau kesaktian untuk dapat memerintah
rakyatnya dengan aman dan tenteram.
Setelah
keluarga dari Luwu ini mengembara di beberapa tempat, akhirnya sampailah di atas
sebuah gunung, tempat ditemukannya air sakti tersebut. Olehnya itu, mereka
menetap ditempat itu “yang saat sekarang ini diberi nama Ajarengnge sedangkan sumber air disebut Pujung Waranie” (Djauharuddin, 2000 : 1). Karena di atas gunung itu banyak
terdapat pohon yang oleh mereka disebut dengan pohon Aju Beru, maka tempat
tersebut disebut Beru. Hal tersebut juga sesuai dengan apa yang dikemukakan
oleh Tim Penyusun Barru (Tanpa Tahun : 1) sebagai berikut :
Di sekitar tempat itu banyak
tumbuh pohon yang oleh mereka diberi nama AJU BERU (pohon BERU). Selanjutnya tempat
pemukiman tersebut diberi nama BERU, yang dari hari ke hari semakin ramai
karena datangnya penghuni Beru dari berbagai tempat.
Sebagai kaum
pendatang ditempat kosong tersebut, maka Lawara
Malluajeng beserta keluarganya bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan dan
keperluan hidupnya. Pada mulanya mereka hanya dapat mengolah sagu dan enau
serta rumbia yang tumbuh disekitar daerah tersebut. Sedangkan untuk jangka
panjangnya dibukalah tanaman perkebunan dan persawahan. Suatu lokasi di sebelah
Barat perkampungan Beru, tempat yang mulanya hutan rumbia (pohon sagu) dan
merupakan makanan penduduk Beru.
Dalam perkembangan
selanjutnya, perkampungan Beru menjadi ramai, karena kedatangan orang-orang
dari berbagai tempat untuk menetap dan menjadi penduduk Beru. Di samping itu,
berkembang pula penduduk yang berasal dari keturunan Lawara Malluajeng.
Berkat kerja keras
dan kepemimpinan Lawara Malluajeng merintis dan membina perkampungan Beru
dengan arif dan bijaksana, menyebabkan rakyat Beru berkembang dengan pesat. Olehnya
itu, beliau diberi gelar “Puang Ri
Bulu Puang Ri Campa”. (Djauharuddin, 2000 : 2)
Dari masa kemasa Beru
berkembang menjadi suatu daerah yang besar, yang pada akhirnya berbentuk
menjadi suatu Kerajaan yang merdeka dan berdaulat serta sejajar dengan Kerajaan-Kerajaan
lain yang ada di sekitarnya. Kerajaan tersebut diberi nama Kerajaan Beru.
Diriwayatkan pula,
pada suatu masa Kerajaan Beru dipimpin oleh seorang Ratu yang bernama We Sanira Petta Cakke Awo, beliau adalah
keturunan Lawara Malluajeng Puang Ri Bulu
Puang Ri Campa. Pada waktu Ratu ini naik tahta sebagai raja yang ke-15 Kerajaan
Beru, beliau mempunyai pendamping. Karena keahlian dan kebijakannya
mengendalikan pemerintahan dengan arif, maka beliau dikenal diantara raja-raja
yang ada di daerah lain seperti Bone, Gowa. Hal inilah yang menyebabkan
raja-raja Bone maupun Gowa ingin melamar Ratu Kerajaan Beru, yang pada akhirnya
putera Mahkota Kerajaan Gowa Pattimarang yang
berhasil mempersunting Ratu Kerajaan Beru.
Dengan adanya dua
kekuatan besar yang bersatu menjadi satu keluarga, menyebabkan Kerajaan Beru
berkembang dengan pesat. Namun, di sisi lain pengikut-pengikut putera mahkota Kerajaan
Gowa mengalami kesulitan dalam hal pengucapan kata Beru. Mereka lebih mudah
mengucapkan BA-R-RU. Dari dasar inilah Beru menjadi Barru.
No comments:
Post a Comment