Sebelum terbentuknya suatu Kerajaan, di setiap
daerah, paling tidak kita harus menelusuri kehidupan manusia pada masa lampau.
Pada masa lampau kehidupan manusia berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat
yang lain secara berkelompok, dan mempunyai kepala kelompok. Mereka belum
mempunyai tempat yang menetap, kemudian selanjutnya menetap di gua-gua. Tetapi
karena pola pikir manusia semakin berkembang dan pada akhirnya manusia
bertempat tinggal menetap dan mendirikan rumah-rumah. Menurut I Made Sutaba
(1966:4) bahwa “pada waktu itu penduduk sudah tinggal menetap di desa-desa,
hidup bertani dan mengembangbiakkan binatang, seperti kerbau, baik untuk
keperluan hidup sehari-hari misalnya untuk keperluan pertanian, transportasi,
maupun untuk keperluan upacara-upacara terntentu.
Dengan
demikian terbentuklah masyarakat megalitik atau desa-desa megalitik yang mantap
di bawah pimpinan seorang tokoh yang disegani dan dihormati, maka peranan tokoh
semakin menonjol. Pada umumnya penduduk yang telah menetap dengan teratur, akan
cenderung bertambah banyak dan keperluan hidupnya semakin meningkat yang harus
dipenuhi, maka penduduk akan memerlukan lahan yang lebih luas, baik untuk
keperluan pertanian maupun untuk pemukiman. Untuk memenuhi keperluan tersebut,
maka dilakukan perambahan dan pengolahan hutan yang ada di sekitarnya.
Bertambahnya jumlah penduduk akan merupakan tambahan angkatan kerja yang dapat
digunakan secara produktif dalam kegiatan pertanian, perikanan dan lain-lain.
Menurut
Abu Hamid dalam makalah Hari jadi Sinjai, Kapan dan Mengapa, (1994:3)
dikemukakan bahwa: Wilayah Kecamatan, Desa dan Kampung sekarang, adalah hasil
pertumbuhan pemukimandari masa lampau. Pemukiman asli biasanya memilih
ketinggian atau bukit yang di bawahnya terdapat sumber-sumber air. Sejauh mata
memandang, dianggapnya wilayah kekuasaannya. Lambat laun perkembangan secara
alami, perumahan bertambah banyak dan akhirnya terbentuk sebuah wanua atau kampung, mengadakan sarana
pemukiman, seperti sarana pertemuan dan ibadah bersama.
Dengan
terbentuknya hanua (wanua, kampung), inilah nantinya yang
menjadi cikal bakal terbentuknya suatu Kerajaan. Setiap anggota hanua bebas membuka tanah perladangan di
sekelilingnya atas izin orang tua kampung. Penduduk kampung lain, harus minta izin
dari pemilik Kampung bila ingin membuka tanah. Apabila suatu waktu kesuburan
tanah sudah berkurang, mereka pindah tempat lain dan mendirikan pemukiman.
Pengelolaan tanah dilakukan secara bersama-sama oleh penduduk Kampung, karena
ikatan kekerabatan bersama. Pada umumnya pertanian mereka hanya memenuhi
kebutuhan hidupnya atau subsistensi.
Setiap
Hanua tertutup bagi orang lain. Pada
umumnya perkawinan terjadi dikalangan penduduk kampung sendiri (Endogami Desa)
diantar oleh sepupu sekali atau sepupu dua kali (paralleean cross cousin), (Abu Hamid, 1994:40). Jika terjadi perkawinan
di luar kampung lain, khususnya pria maka ia harus dikenakan pallaha tana (Semacam Pembayaran masuk
kampung). Setelah kawin pasangan ini bebas mendirikan rumah, apakah dekat
pemukiman orang tua suami atau istri. Akibat perkawinan, maka kampung menjadi
besar atau penggabungan dua kampung atau menjadi hanua yang besar.
Dalam
perkembangan masyarakat yang semakin maju, maka sistem organisasi sosial juga
berkembang semakin mantap, mengikat semua anggotanya di bawah pimpinan seorang
tokoh yang disegani. Untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang sejahtera
lahir batin, maka dalam masyarakat mulai timbul dan berkembang pembagian tenaga
kerja yang merupakan tuntutan masyarakat.
Dengan
demikian dalam masyarakat megalitik, “kelompok-kelompok sosial itu berkembang
menjadi empat kelompok (1) para
pemimpin, (2) para pendagi atau tukang, (3) kelompok yang mengatur upacara
keagamaan untuk menjaga keselamatan dan kesejahteraan penduduk, (4) kelompok
yang tidak termasuk dalam salah satu kelompok di atas” (I Made Sutaba, 20, 26
September 1996:4). Sedangkan Abu Hamid berpendapat bahwa pemimpin-pemimpin
diangkat dari kalangan mereka yang tertua, berwibawa, cerdas berdedikasi tinggi.
(1994:4). Demikianlah Hanua (Wanua:
kampung atau Desa) terbentuk dan tersebar saling berjauhan letaknya,
masing-masing mengembangkan kebiasaannya dan kebanggaannya sendiri.
Setiap
Hanua (Wanua = Kampung atau Desa) memiliki “jago-jago” semacam pemberani untuk
membela kampung yang siap berkelahi, maka tentu perang antara kampung sulit
dihindari, perebutan kampung dengan segala hak miliknya berlangsung silih
berganti dengan perdamaian. Perdamaian disusul dengan perkawinan dan saling
memberi anak gadis, mewarnai kehidupan sosial budaya masa lampau.
Kekacauan
yang berlangsung lama (Sianre baleni taue),
menghancurkan masyarakat dan kemanusiaan mereka. Dengan kemelut sosial seperti
tersebut dicari jalan keluar untuk mempersatukan diantara kelompok-kelompok
yang beselisih, ditemukan di dalam kepercayaan mereka suatu alat praktis dan
idiologi untuk pembentukan negerinya dari suatu, anugrah atau rekayasa
mendatangkan “To Manurung”. Sebuah
konsep datangnya penyelamat yang dipercaya memiliki kekuatan untuk
mempersatukan kelompok-kelompok yang bertikai.
Jadi
untuk melihat pertumbuhan kerajaan-kerajaan yang ada di sinjai, tidak terlepas
dengan adanya To Manurung menjadi
cikal bakal raja sebagai pemerintah (Abu Hamid, 1994:5). Di daerah Sinjai
terdapat beberapa kerajaan besar ataupun kecil yang tumbuh dan berkembang
dengan pesatnya. Adapun kerajaan-kerajaan tersebut yaitu Kerajaan Tondong,
Kerajaan Bulo-Bulo, dan Kerajaan Lamatti yang berada di pesisir pantai,
sedangkan Kerajaan Turungeng, maniangpaoi, Manipi, Suka dan Bala Suka terletak
di daratan tinggi.
No comments:
Post a Comment