Monday 23 March 2015

TERBENTUKNYA WANUA (KAMPUNG) DI SINJAI

Sebelum terbentuknya suatu Kerajaan, di setiap daerah, paling tidak kita harus menelusuri kehidupan manusia pada masa lampau. Pada masa lampau kehidupan manusia berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain secara berkelompok, dan mempunyai kepala kelompok. Mereka belum mempunyai tempat yang menetap, kemudian selanjutnya menetap di gua-gua. Tetapi karena pola pikir manusia semakin berkembang dan pada akhirnya manusia bertempat tinggal menetap dan mendirikan rumah-rumah. Menurut I Made Sutaba (1966:4) bahwa “pada waktu itu penduduk sudah tinggal menetap di desa-desa, hidup bertani dan mengembangbiakkan binatang, seperti kerbau, baik untuk keperluan hidup sehari-hari misalnya untuk keperluan pertanian, transportasi, maupun untuk keperluan upacara-upacara terntentu.
                Dengan demikian terbentuklah masyarakat megalitik atau desa-desa megalitik yang mantap di bawah pimpinan seorang tokoh yang disegani dan dihormati, maka peranan tokoh semakin menonjol. Pada umumnya penduduk yang telah menetap dengan teratur, akan cenderung bertambah banyak dan keperluan hidupnya semakin meningkat yang harus dipenuhi, maka penduduk akan memerlukan lahan yang lebih luas, baik untuk keperluan pertanian maupun untuk pemukiman. Untuk memenuhi keperluan tersebut, maka dilakukan perambahan dan pengolahan hutan yang ada di sekitarnya. Bertambahnya jumlah penduduk akan merupakan tambahan angkatan kerja yang dapat digunakan secara produktif dalam kegiatan pertanian, perikanan dan lain-lain.
                Menurut Abu Hamid dalam makalah Hari jadi Sinjai, Kapan dan Mengapa, (1994:3) dikemukakan bahwa: Wilayah Kecamatan, Desa dan Kampung sekarang, adalah hasil pertumbuhan pemukimandari masa lampau. Pemukiman asli biasanya memilih ketinggian atau bukit yang di bawahnya terdapat sumber-sumber air. Sejauh mata memandang, dianggapnya wilayah kekuasaannya. Lambat laun perkembangan secara alami, perumahan bertambah banyak dan akhirnya terbentuk sebuah wanua atau kampung, mengadakan sarana pemukiman, seperti sarana pertemuan dan ibadah bersama.
                Dengan terbentuknya hanua (wanua, kampung), inilah nantinya yang menjadi cikal bakal terbentuknya suatu Kerajaan. Setiap anggota hanua bebas membuka tanah perladangan di sekelilingnya atas izin orang tua kampung. Penduduk kampung lain, harus minta izin dari pemilik Kampung bila ingin membuka tanah. Apabila suatu waktu kesuburan tanah sudah berkurang, mereka pindah tempat lain dan mendirikan pemukiman. Pengelolaan tanah dilakukan secara bersama-sama oleh penduduk Kampung, karena ikatan kekerabatan bersama. Pada umumnya pertanian mereka hanya memenuhi kebutuhan hidupnya atau subsistensi.
                Setiap Hanua tertutup bagi orang lain. Pada umumnya perkawinan terjadi dikalangan penduduk kampung sendiri (Endogami Desa) diantar oleh sepupu sekali atau sepupu dua kali (paralleean cross cousin), (Abu Hamid, 1994:40). Jika terjadi perkawinan di luar kampung lain, khususnya pria maka ia harus dikenakan pallaha tana (Semacam Pembayaran masuk kampung). Setelah kawin pasangan ini bebas mendirikan rumah, apakah dekat pemukiman orang tua suami atau istri. Akibat perkawinan, maka kampung menjadi besar atau penggabungan dua kampung atau menjadi hanua yang besar.
                Dalam perkembangan masyarakat yang semakin maju, maka sistem organisasi sosial juga berkembang semakin mantap, mengikat semua anggotanya di bawah pimpinan seorang tokoh yang disegani. Untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang sejahtera lahir batin, maka dalam masyarakat mulai timbul dan berkembang pembagian tenaga kerja yang merupakan tuntutan masyarakat.
                Dengan demikian dalam masyarakat megalitik, “kelompok-kelompok sosial itu berkembang menjadi empat kelompok (1)  para pemimpin, (2) para pendagi atau tukang, (3) kelompok yang mengatur upacara keagamaan untuk menjaga keselamatan dan kesejahteraan penduduk, (4) kelompok yang tidak termasuk dalam salah satu kelompok di atas” (I Made Sutaba, 20, 26 September 1996:4). Sedangkan Abu Hamid berpendapat bahwa pemimpin-pemimpin diangkat dari kalangan mereka yang tertua, berwibawa, cerdas berdedikasi tinggi. (1994:4). Demikianlah Hanua (Wanua: kampung atau Desa) terbentuk dan tersebar saling berjauhan letaknya, masing-masing mengembangkan kebiasaannya dan kebanggaannya sendiri.
                Setiap Hanua (Wanua = Kampung atau Desa) memiliki “jago-jago” semacam pemberani untuk membela kampung yang siap berkelahi, maka tentu perang antara kampung sulit dihindari, perebutan kampung dengan segala hak miliknya berlangsung silih berganti dengan perdamaian. Perdamaian disusul dengan perkawinan dan saling memberi anak gadis, mewarnai kehidupan sosial budaya masa lampau.
                Kekacauan yang berlangsung lama (Sianre baleni taue), menghancurkan masyarakat dan kemanusiaan mereka. Dengan kemelut sosial seperti tersebut dicari jalan keluar untuk mempersatukan diantara kelompok-kelompok yang beselisih, ditemukan di dalam kepercayaan mereka suatu alat praktis dan idiologi untuk pembentukan negerinya dari suatu, anugrah atau rekayasa mendatangkan “To Manurung”. Sebuah konsep datangnya penyelamat yang dipercaya memiliki kekuatan untuk mempersatukan kelompok-kelompok yang bertikai.
                Jadi untuk melihat pertumbuhan kerajaan-kerajaan yang ada di sinjai, tidak terlepas dengan adanya To Manurung menjadi cikal bakal raja sebagai pemerintah (Abu Hamid, 1994:5). Di daerah Sinjai terdapat beberapa kerajaan besar ataupun kecil yang tumbuh dan berkembang dengan pesatnya. Adapun kerajaan-kerajaan tersebut yaitu Kerajaan Tondong, Kerajaan Bulo-Bulo, dan Kerajaan Lamatti yang berada di pesisir pantai, sedangkan Kerajaan Turungeng, maniangpaoi, Manipi, Suka dan Bala Suka terletak di daratan tinggi. 

No comments:

Post a Comment