Thursday 26 March 2015

PEREBUTAN KEKUASAAN KERAJAAN-KERAJAAN DI SINJAI

Sebagai sebuah kawasan strategis, keberadaan kerajaan-kerajaan yang ada di Sinjai menjadi incaran dari kekuatan besar yang ada. Pada masa itu kerajaan-kerajaan di Sinjai terpilah-pilah tampa ada tokoh pemersatu yang menjadi pemegang kekuasaan. Keadaan tersebut rawan menimbulkan konflik diantara mereka pada masa ekspansi kerajaan Gowa-Tallo, dan di sisi lain Kerajaan Bone juga sedang gencar-gencarnya memasukkan pengaruhnya pada kerajaan-kerajaan yang ada di Sinjai.
Untuk merekatkan hubungan itu, maka Raja Bone ke VII La Tenriawe Bongkangnge membentuk suatu persekutuan yang akhirnya dikenal dengan Lamung Patue ri Topekkong sebagai upaya menahan laju ekspansi kerajaan Gowa-Tallo yang telah menaklukkan Bulukumba pada tahun 1511. Perjanjian itu sendiri menjadikan kerajaan kembar Tondong, Bulo-Bulo dan Lamatti bersekutu dengan nama Tellu Limpoe. Perjanjiannya dikenal dengan Lamung Patue ri Topekkong. Antara mereka tidak ada sebagai pemimpin, dalam harapannya disebutkan dengan Dua Temmallaiseng, Tellu Temmassarang. Di wilayah pegunungan juga membentuk suatu aliansi yang disebut dengan Pitu Limpoe yang dimotori oleh Arung Turungeng cucu dari To-Manurung Lawaru.

Dengan terbentuknya dua aliansi ini mejadikan Sinjai memiliki nilai tawar yang sangat tinggi, sehingga hampir tidak pernah manjadi daerah taklukan secara lansung dari kerajaan Gowa-Tallo maupun kerajaan Bone. Sinjai diposisikan sebagai passiajingeng. Posisi semacam ini tetap diakui Gowa-Tallo maupun Bone walaupun Bulo-Bulo pernah dalam perangnya menghadapi Bone dibawah pimpinan Raja Gowa-Tallo ke X Manrio Gau Daeng Tunipallangga Ulaweng Bonto Dillo yang berkuasa di Gowa-Tallo pada tahun 1564. Perjanjian Topekkong sendiri diikuti Arung Tondong yang bernama I Yottong Daeng Rampa, Raja Bulo-Bulo I Lamappasokko dan Lamatti La Padenrengi Tadampalie, pada tahun 1564. Mediator dalam perjanjian ini adalah Kajao Laliddong, seorang negarawan kerajaan Bone.

PEREBUTAN KEKUASAAN KERAJAAN-KERAJAAN DI SINJAI

Sebagai sebuah kawasan strategis, keberadaan kerajaan-kerajaan yang ada di Sinjai menjadi incaran dari kekuatan besar yang ada. Pada masa itu kerajaan-kerajaan di Sinjai terpilah-pilah tampa ada tokoh pemersatu yang menjadi pemegang kekuasaan. Keadaan tersebut rawan menimbulkan konflik diantara mereka pada masa ekspansi kerajaan Gowa-Tallo, dan di sisi lain Kerajaan Bone juga sedang gencar-gencarnya memasukkan pengaruhnya pada kerajaan-kerajaan yang ada di Sinjai.
Untuk merekatkan hubungan itu, maka Raja Bone ke VII La Tenriawe Bongkangnge membentuk suatu persekutuan yang akhirnya dikenal dengan Lamung Patue ri Topekkong sebagai upaya menahan laju ekspansi kerajaan Gowa-Tallo yang telah menaklukkan Bulukumba pada tahun 1511. Perjanjian itu sendiri menjadikan kerajaan kembar Tondong, Bulo-Bulo dan Lamatti bersekutu dengan nama Tellu Limpoe. Perjanjiannya dikenal dengan Lamung Patue ri Topekkong. Antara mereka tidak ada sebagai pemimpin, dalam harapannya disebutkan dengan Dua Temmallaiseng, Tellu Temmassarang. Di wilayah pegunungan juga membentuk suatu aliansi yang disebut dengan Pitu Limpoe yang dimotori oleh Arung Turungeng cucu dari To-Manurung Lawaru.

Dengan terbentuknya dua aliansi ini mejadikan Sinjai memiliki nilai tawar yang sangat tinggi, sehingga hampir tidak pernah manjadi daerah taklukan secara lansung dari kerajaan Gowa-Tallo maupun kerajaan Bone. Sinjai diposisikan sebagai passiajingeng. Posisi semacam ini tetap diakui Gowa-Tallo maupun Bone walaupun Bulo-Bulo pernah dalam perangnya menghadapi Bone dibawah pimpinan Raja Gowa-Tallo ke X Manrio Gau Daeng Tunipallangga Ulaweng Bonto Dillo yang berkuasa di Gowa-Tallo pada tahun 1564. Perjanjian Topekkong sendiri diikuti Arung Tondong yang bernama I Yottong Daeng Rampa, Raja Bulo-Bulo I Lamappasokko dan Lamatti La Padenrengi Tadampalie, pada tahun 1564. Mediator dalam perjanjian ini adalah Kajao Laliddong, seorang negarawan kerajaan Bone.

Tuesday 24 March 2015

TO MANURUNG DI SINJAI

Tahapan perkembangan sejarah Sinjai ataupun tahaan perkembangan Kerajaan di Sinjai secara umum berawal dari adanya To-Manurung yang diyakini oleh sebagian besar warga di Sulawesi Selatan sebagai orang yang turun dari langit. Namun menurut Muhannis (2004) hal ini pun perlu diluruskan karena tidak sesuai dengan kenyataan yang ada pada saat itu. Bagi beliau To-Manurung sebenarnya hanyalah merupakan suatu rekayasa dari orang-orang yang memiliki kepentingan politik untuk meraih simpati atau sekedar untuk menguatkan ikatan sesuai dengan tujuannya. Seperti kasus To-Manurung di Luwu adalah meruakan hasil rekayasa dari kerajaan di Jawa untuk mengamankan jalur perdagangan besi yang waktu itu hanya dihasilkan di sekitar danau Matano. Aktivitas ini diawali oleh Majapahit dengan rajanya yang terkenal Rajasanagara (Hayam Wuruk) pada paruh ke dua abad XIV yang memerintahkan Patih Gajah Mada untuk meluaskan pengaruhnya di luar Pulau Jawa. Bukti kehadirannya adalah bahwa dalam lontara sakral Karampuang tertulis bahwa To-Manurung pertama di Karampuang berasal dari Manjappa atau Majapahit, bukti lain adalah adanya nama kampung yang merupakan tofomin Jawa seperti Dema (Demak) yang terletak di dekat pasar sentral Sinjai. Carumbang di Sinjai Barat adalah nama salah satu pusat kekuasaan Singosari di Jawa Timur. Demikian pula dengan To-Manurung di Gowa-Tallo sebagai upaya pengamanan dari bajak laut dari jalur perdagangan besi, sehingga mengangkat orang Bajo atau turijenne sebagai suami dari To-Manurung pertama di Gowa-Tallo.
                To-Manurung yang ada di Sinjai juga muncul karena adanya perebutan pengaruh dikalangan raja-raja yang ada di Sulawesi Selatan, pada masa itu terjadi kekacauan yang dilakukan oleh bajak-bajak laut yang berasal dari kepulauan Sulu Philipina yang dibantu oleh Kaisar Ming dari Tiongkok. Apalagi saat itu ada perintah dari Kaisar Ming kepada Yang Lob untuk menguasai Laut Cina Selatan, Lautan Hindia dan Laut Jawa dan sekitarnya. Kehadiran pengacau bajak laut ini juga dikenal di Sinjai dan menjadi alasan utama pendirian benteng Balangnipa oleh raja-raja di Sinjai. Para bajak laut itu mengambil markas di Pulau Balunru’e (Burunglohe), pulau Same (Kambuno), serta pulau Batang Lambere (Batang Lampe). Keadaan ini tentu saja akan mempengaruhi kekuataan kerajaan Majapahit yang telah memegang hegemoni kekuasaan.
                Untuk mengamankan Nusantara ini, maka kerajaan besar di Jawa berupaya untuk menggalang kerjasama dengan raja-raja yang ada di Selawesi Selatan termasuk di Sinjai. Karena pada masa itu masyarakat masih terkotak-kotak dalam beberapa wanua dengan pimpinan kharismatik yang memerintah terbatas yang disebut dengan tomatoa, maka sulit untuk melakukan kerjasama karena masing-masing wanua bersifat otonom layaknya negara berdaulat. Untuk memajukan menjadi sebuah kerajaan maka dibuatlah rekayasa dengan mendatangkan seseorang dengan kharisma dan kebesarannya sehingga dipercaya sebagai sosok yang turun dari langit.
                Wanua dengan penduduk terbatas itu menghuni sebuah kawasan dengan jumlah penduduk yang terbatas dan kawin di antara sesamanya. Dan apabila ada yang hendak kawin ke dalam kelompoknya maka pria tersebut diharuskan membayar pallaha tanah yang berlaku hingga kini. Salah satu strategi untuk menjadikan beberapa wanua tersebut menjadi sebuah kerajaan, maka digabunglah wanua-wanua itu, sehingga menjadi kuat. Pemersatunya adalah To-Manurung itu sendiri. Nama-nama To-Manurung awal di Sinjai menyiratkan pula suatu nama yang berhubungan dengan Majapahit yang saat itu bernama Budha Hinaya antara lain nama Manurungnge ri Ujung Lohe yakni Barakelling dan Mara Kose. Kata Barakelling berasal dari bahasa Kawi yaitu Bhre artinya raja dan Kelling artinya takut. Jadi Barakhelling artinya raja yang ditakuti atau disegani. Demikian pula kata Mara Mose berasal dari bahasa kawi yaitu Mara artinya dewi sedangkan Mose berasal dari kata moksa yang artinya kelepasan atau alim. Jadi Mara Mose artinya gadis yang alim. Dalam sejarah Kerajaan Singosari nama ini dikenal dan pernah berkuasa pada tahun 1222-1229 M.

                To-Manurung dalam Lontara Tondong dan Bulo-Bulo disebutkan bahwa To-Manurung pertama yang muncul adalah seseorang yang diberi gelar Puatta Manurungnge ri Wawo Tonro atau Puatta Mula Timpangengngi Tanae yang kawin dengan anak dari To-Manurungnge ri Dampang Ujunglohe Bulukumba. To-Manurung ini melahirkan dua orang anak yaitu Sappe Ribulu (wanita dan tidak kawin) dan menjadi raja pertama di Tondong serta La Barubbu Tana atau juga sering disebut Barumpung Tanae yang akhirnya menjadi raja di Bulo-Bulo. Jejak-jejak keberadaan mereka sebagai To-Manurung masih dapat di lihat hingga kini walau dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. To-Manurung lain juga banyak ditemukan di wilayah Sinjai seperti Karampuang, Caile, Patontongan, Ale Karunrun Manimpahoi, dan Turungeng.

Monday 23 March 2015

TERBENTUKNYA WANUA (KAMPUNG) DI SINJAI

Sebelum terbentuknya suatu Kerajaan, di setiap daerah, paling tidak kita harus menelusuri kehidupan manusia pada masa lampau. Pada masa lampau kehidupan manusia berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain secara berkelompok, dan mempunyai kepala kelompok. Mereka belum mempunyai tempat yang menetap, kemudian selanjutnya menetap di gua-gua. Tetapi karena pola pikir manusia semakin berkembang dan pada akhirnya manusia bertempat tinggal menetap dan mendirikan rumah-rumah. Menurut I Made Sutaba (1966:4) bahwa “pada waktu itu penduduk sudah tinggal menetap di desa-desa, hidup bertani dan mengembangbiakkan binatang, seperti kerbau, baik untuk keperluan hidup sehari-hari misalnya untuk keperluan pertanian, transportasi, maupun untuk keperluan upacara-upacara terntentu.
                Dengan demikian terbentuklah masyarakat megalitik atau desa-desa megalitik yang mantap di bawah pimpinan seorang tokoh yang disegani dan dihormati, maka peranan tokoh semakin menonjol. Pada umumnya penduduk yang telah menetap dengan teratur, akan cenderung bertambah banyak dan keperluan hidupnya semakin meningkat yang harus dipenuhi, maka penduduk akan memerlukan lahan yang lebih luas, baik untuk keperluan pertanian maupun untuk pemukiman. Untuk memenuhi keperluan tersebut, maka dilakukan perambahan dan pengolahan hutan yang ada di sekitarnya. Bertambahnya jumlah penduduk akan merupakan tambahan angkatan kerja yang dapat digunakan secara produktif dalam kegiatan pertanian, perikanan dan lain-lain.
                Menurut Abu Hamid dalam makalah Hari jadi Sinjai, Kapan dan Mengapa, (1994:3) dikemukakan bahwa: Wilayah Kecamatan, Desa dan Kampung sekarang, adalah hasil pertumbuhan pemukimandari masa lampau. Pemukiman asli biasanya memilih ketinggian atau bukit yang di bawahnya terdapat sumber-sumber air. Sejauh mata memandang, dianggapnya wilayah kekuasaannya. Lambat laun perkembangan secara alami, perumahan bertambah banyak dan akhirnya terbentuk sebuah wanua atau kampung, mengadakan sarana pemukiman, seperti sarana pertemuan dan ibadah bersama.
                Dengan terbentuknya hanua (wanua, kampung), inilah nantinya yang menjadi cikal bakal terbentuknya suatu Kerajaan. Setiap anggota hanua bebas membuka tanah perladangan di sekelilingnya atas izin orang tua kampung. Penduduk kampung lain, harus minta izin dari pemilik Kampung bila ingin membuka tanah. Apabila suatu waktu kesuburan tanah sudah berkurang, mereka pindah tempat lain dan mendirikan pemukiman. Pengelolaan tanah dilakukan secara bersama-sama oleh penduduk Kampung, karena ikatan kekerabatan bersama. Pada umumnya pertanian mereka hanya memenuhi kebutuhan hidupnya atau subsistensi.
                Setiap Hanua tertutup bagi orang lain. Pada umumnya perkawinan terjadi dikalangan penduduk kampung sendiri (Endogami Desa) diantar oleh sepupu sekali atau sepupu dua kali (paralleean cross cousin), (Abu Hamid, 1994:40). Jika terjadi perkawinan di luar kampung lain, khususnya pria maka ia harus dikenakan pallaha tana (Semacam Pembayaran masuk kampung). Setelah kawin pasangan ini bebas mendirikan rumah, apakah dekat pemukiman orang tua suami atau istri. Akibat perkawinan, maka kampung menjadi besar atau penggabungan dua kampung atau menjadi hanua yang besar.
                Dalam perkembangan masyarakat yang semakin maju, maka sistem organisasi sosial juga berkembang semakin mantap, mengikat semua anggotanya di bawah pimpinan seorang tokoh yang disegani. Untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang sejahtera lahir batin, maka dalam masyarakat mulai timbul dan berkembang pembagian tenaga kerja yang merupakan tuntutan masyarakat.
                Dengan demikian dalam masyarakat megalitik, “kelompok-kelompok sosial itu berkembang menjadi empat kelompok (1)  para pemimpin, (2) para pendagi atau tukang, (3) kelompok yang mengatur upacara keagamaan untuk menjaga keselamatan dan kesejahteraan penduduk, (4) kelompok yang tidak termasuk dalam salah satu kelompok di atas” (I Made Sutaba, 20, 26 September 1996:4). Sedangkan Abu Hamid berpendapat bahwa pemimpin-pemimpin diangkat dari kalangan mereka yang tertua, berwibawa, cerdas berdedikasi tinggi. (1994:4). Demikianlah Hanua (Wanua: kampung atau Desa) terbentuk dan tersebar saling berjauhan letaknya, masing-masing mengembangkan kebiasaannya dan kebanggaannya sendiri.
                Setiap Hanua (Wanua = Kampung atau Desa) memiliki “jago-jago” semacam pemberani untuk membela kampung yang siap berkelahi, maka tentu perang antara kampung sulit dihindari, perebutan kampung dengan segala hak miliknya berlangsung silih berganti dengan perdamaian. Perdamaian disusul dengan perkawinan dan saling memberi anak gadis, mewarnai kehidupan sosial budaya masa lampau.
                Kekacauan yang berlangsung lama (Sianre baleni taue), menghancurkan masyarakat dan kemanusiaan mereka. Dengan kemelut sosial seperti tersebut dicari jalan keluar untuk mempersatukan diantara kelompok-kelompok yang beselisih, ditemukan di dalam kepercayaan mereka suatu alat praktis dan idiologi untuk pembentukan negerinya dari suatu, anugrah atau rekayasa mendatangkan “To Manurung”. Sebuah konsep datangnya penyelamat yang dipercaya memiliki kekuatan untuk mempersatukan kelompok-kelompok yang bertikai.
                Jadi untuk melihat pertumbuhan kerajaan-kerajaan yang ada di sinjai, tidak terlepas dengan adanya To Manurung menjadi cikal bakal raja sebagai pemerintah (Abu Hamid, 1994:5). Di daerah Sinjai terdapat beberapa kerajaan besar ataupun kecil yang tumbuh dan berkembang dengan pesatnya. Adapun kerajaan-kerajaan tersebut yaitu Kerajaan Tondong, Kerajaan Bulo-Bulo, dan Kerajaan Lamatti yang berada di pesisir pantai, sedangkan Kerajaan Turungeng, maniangpaoi, Manipi, Suka dan Bala Suka terletak di daratan tinggi. 

Tuesday 17 March 2015

PRASEJARAH SINJAI

Zaman prasejarah di Sinjai mencapai puncak keemasannya sekitar abad XIII samapi abad XV dengan peninggalan yang sangat kaya dan memperlihatkan suatu tingkat budaya yang sangat tinggi dan dapat disejajarkan dengan kebudayaan yang sama di Sulawesi Selatan seperti situs Tinco dan Sewo di Soppeng dan situs Allekkuangnge di Bone. Peninggalan arkeologis memberikan indikasi yang menguatkan akan keemasannya seperti dolmen, dakon, lumpang, temu gelang, tahta batu, batu pemujaan, batu pelantikan, pundek berundak. Bahkan juga terdapat keramik dan gerabah yang semakin memperkaya khasanah budaya Sinjai.
Dalam kawasan Lalengbata yang merupakan pusat kerajaan Lamatti terdapat peninggalan berupa lebih dari 200 buah lumpang batu dengan berbagai ukuran. Selain lumpang batu, ditemukan pula batu pelantikan, batu babang atau batu pintu, calo-calo. Kekayaan lain adalah ditemukannya kuburan kuno, menhir. Khusus untuk batu dakonnya sampai hari ini belum ditemukan. Peninggalan berupa keramik juga turut memperkaya situs ini.

Kekayaan yang tak kalah menariknya adalah situs Ale Tondong yang dulunya merupakan pusat Kerajaan Tondong di Alehanuae dengan peninggalan berupa lumpang batu, dakon, pecahan gerabah, keramik asing, tahta batu serta goresan-goresan (sudah tidak ditemukan lagi karena ditumbuhi lumut). Berdampingan dengan Ale Tondong adalah Ale Bulo-Bulo yang terletak di atas bukit yang juga sangat kaya dengan lumpang batu, batu tahta, dakon, pecahan gerabah dan keramik. Masih dalam situs Bulo-Bulo, kea rah kaki bukit ada situs yang tak kalah menariknya yaitu situs Topekkong yakni Batu Perjanjian yang dikelilingi benteng alam berupa tumpukan batu yang berisi tanah. Situs lain yang tak kalah pentingnya yaitu situs Tallasa yang terletak tidak jauh dari situs Topekkong dengan koleksi berupa lumpang batu dan dakon serta mata air yang sejuk.

PERSEKUTUAN LIMAE AJATTAPPARENG

Persekutuan Limae Ajattappareng terbentuk untuk mempererat kerjasama perdagangan, terutama perdagangan beras dan kayu cendana. Dalam rangka menjaga eksistensi persekutuan kelima kerajaan (Kerajaan Suppa, Kerajaan Sidenreng, Kerajaan Sawitto, Kerajaan Allita, dan Kerajaan Rappang) membuat suatu ikrar sebagai salah satu wuud kebersamaan. Disamping itu, kerajaan yang termasuk dalam persekutuan tersebut melakukan kawin mawin diantara raja-rajanya. Dengan demikian, secara teoritis kerajaan yang masuk dalam persekutuan tersebut dapat langgeng, karena diikat oleh adanya pertalian darah atau geneologi sebagai alat perekat diantara kerajaan-kerajaan Limae Ajattappareng.
Isi perjanjian Persekutuan Limae Ajattappareng diibaratkan sebuah rumah yang memiliki lima kamar. Kelima kamar tersebut, setiap raja dan rakyat bebas menempati sesuai keinginannya. Perjanjian tersebut memberikan indikasi tentang adanya kebebasan setiap rakyat dari kelima kerajaan untuk berusaha tanpa meminta izin terlebih dahulu pada kerjaan tertentu. Sekaligus rakyat dan raja dapat melakukan perkawinan diantara mereka, tanpa dianggap melanggar adat istiadat dari setiap kerajaan yang masuk dalam persekutuan (Pabitjara, 2006: 18).
Tujuan Persekutuan Limae Ajattappareng adalah kecenderungan pada kerjasama kesejahteraan bersama. Dalam konsepsi persekutuan, tidak ada keinginan dari kerajaan yang aliansi untuk saling menginsafi. Setiap kerajaan mempunyai hak yang sama untuk saling memperingati, menunjukkan hal yang baik, sesuai falsafah orang bugis mali, siparappe, malilu sipakainge, rebba sipatokkong. Artinya; hanyut diselamatkan, lupa diingatkan, jatuh dibantu. Dengan demikian, setiap kerajaan mempunyai kedudukan yang sama dalam persekutuan tersebut, baik secara internal maupun eksternal. Perjanjian untuk mengadakan persekutuan diadakan di suatu tempat di wilayah Kerajaan Suppa. Maka secara resmi lahir atau berdirinya persekutuan yang disebut Limae Ajattappareng yang bersifat kekeluargaan.
Keberadaan kerajaan Suppa di Sulawesi Selatan sebagai pemegang hegemoni perdagangan dilatari oleh jalur perdagangan Nusantara yang semakin ramai. Hal itu, berkaitan dengan terbukanya Laut Cina Selatan sebagai jalur perdagangan Utara-Selatan, sehingga dapat menghubungkan secara langsung antara Cina dengan Kepulauan Nusantara dan India pada awal abad XVI. Disisi lain, yang membuat jalur perdagangan dan pelayaran semakin ramai yakni ditemukannya kompas sebagai suatu alat yang dapat digunakan sebagai penunjuk arah mata angin, sehingga pelayaran pesisir pantai sudah berani mengarungi lautan bebas (Pelras, 2006: 303).
Terbentuknya Persekutuan Limae Ajattappareng pada abad XVI yaitu pada masa pemerintahan La Makkarawie Datu Suppa yang diperkirakan pada 1523 M. Pernyataan ini sesuai dengan data yang diperoleh dari lontara yang menyatakan bahwa “Seppulo dua taung rumpa’nna arajangge ri malaka, na ripammulani assiajingge riasengge Limae Ajattappareng” (lontara, Arung Bacukiki) (Pabitjara, 2006: 125). Masing-masing kerajaan yang mengadakan persekutuan tersebut mempunyai hak dan kewajiban untuk tetap menjaga hubungan atau kerjasama, terutama dalam bidang ekonomi, politik serta budaya sebagai wujud kebersamaan. Disisi lain, kerajaan yang bersekutu tidak diikuti oleh ambisi untuk saling menguasai antara satu denga yang lainnya.
Masing-masing kerajaan yang berikrar diawali raja Pateddunggi dari Addoawang Sidenreng, La Paleteyangi Raja atau Datu Sawitto, La Makkarawie Datu Suppa, La Pakkolongngi Arung Rappeng dan juga sebagai Arung Allita. Isi dari ikrar Persekutuan Limae Ajattappareng berdasarkan lontara, sebagai berikut:
Naiya Limae Ajattappareng silellang bola lima bili. Kegikegi napoji ininna iyanatu mauttamai ananna ta timpa tange’na Limae nassu ananna, tenri sokkang ri teyana anae tenri lawa ri maelona, sijellokang jari tana, tessitaro pakka seseyang maruma siliwekkang makkaja sipalalo, malilu sipakainge, siakkoling-kolingeng sipakainge rideceng paggangkana, rebba sipatokkong, mali siparappe, tessijollereng rappo-rappo, tessi akkellang-kellangeng limae massiyajing, tessiyenrekang ribulu, tessinoreng ri lompo, deceng tauru ja’tadwai tessiyasengeng deceng rekko cedde’mi padecengngi, iyapa namadeceng napadecengi idi limae, tapada poadai tapadai bicarakki pada tuttungi peta mekkeda siyatepperengngi mappau tessipabbelleang, malasai seddi, mabburai eppa, malasai dua mabburai tellu, malasai tellu mabburai dua, malasai eppa mabburai seddi, tessitudangeng massiyajing lima tassapai unganna gangkanna talolongenna deceng paggangkanna iya nasiturusinna ikkeng Limae Ajattappareng naripadduppa iya riajjancingengnge”.
Artinya:
Kerajaan Limae Ajattappareng diibaratkan seperti rumah yang mempunyai lima kamar, dimana salah satu dari lima kamar yang disukai itulah yang dimasuki. Terbuka pintu untuk keluar masuk bagi anak-anaknya, dan tidak ada paksaan serta keinginan untuk menghalangi kemauannya. Masing-masing menentukan batas daerah, dan mempunyai kebebasan untuk mencari nafkah, saling memperingati dalam kebajikan dan menegur yang salah. Bahkan tidak ada keinginan untuk berhenti menyampaikan kebaikan. Bila jatuh harus saling menegakkan, jika hanyut harus saling tolong menolong. Tidak ada keinginan untuk menunjukkan keburukan dari kelima bersaudara. Kelimanya harus secara bersama-sama mendaki ke gunung, dan menuruni lembah. Adapun kebaikan dan keburukan ditanggung bersama. Tidak dianggap baik jika hanya sebagian menikmatinya. Akan dikatakan baik, jika dinikmati bersama. Bila ada masalah, maka kelimanya harus membicarakan persoalan itu, masing-masing harus hadir. Saling menentukan dan mentaati batas dalam berbicara, saling mempercayai dan tidak akan berdusta. Sakit satu, empat yang akan mencari obat, sakit dua, tiga yang mencari akan obat, sakit tiga, dua yang akan mencari obat, sakit empat, satu yang akan mencari obat. Kelima yang bersaudara bersatu dan berusaha untuk mencari kebajikan. Kesepakatan ini merupakan ikrar dari Limae Ajattappareng yang harus dibuktikan sesuai ikrar dalam kehidupan kelak (Lontara, H. Paewa) (Pabitjara, 2006: 126-127).
Berdasarkan isi ikrar tersebut, bahwa kelima kerajaan mempunyai hak dan wewenang serta kebebasan mengembangkan kerajaannya. Kelima kerajaan yang bersekutu tidak ada salah satu diantara mereka yang mentolerir atau dapat memegang hegemoni di Persekutuan Limae Ajattappareng. Dengan kata lain, bahwa masing-masing raja mempunyai kedaulatan atas wilayah kerajaannya,sebagaimana sebelum terjadi persekutuan tersebut. Bahkan rakyat dalam persekutuan mempunyai kebebasan mencari nafkah di kerajaan lain tanpa mendapat gangguan dan mempunyai kemerdekaan untuk menetap pada kerajaan dalam persekutuan tersebut tanpa meminta izin terlebih dahulu.

Status dan kedudukan dari kelima kerajaan adalah sama dalam menentukan kebijakan dalam persekutuan itu. Apabila didasarkan pada aturan kerajaan, maka Kerjaan Suppa dan Kerajaan Sidenreng dianggap sebagai yang tertua dalam persekutuan itu. Sedangkan kerajaan lain, seperti Kerajaan Rappeng, Kerajaan Allita dan Kerajaan Sawitto dianggap sebagai saudara muda dalam persekutuan ini. Akan tetapi, segala keputusan yang akan diambil, biasanya kelima kerajaan diundang dalam suatu rapat kerajaan untuk menentukan kebijakan, terutama menyangkut masalah yang dihadapi, tindakan harus dilakukan untuk perkembangan dari Persekutuan Limae Ajattappareng.

Monday 16 March 2015

STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT BARRU

Stratifikasi sosial atau pelapisan sosial merupakan sesuatu yang dianggap sangat penting untuk mencari latar belakang hidup dan sifat mendasar suatu masyarakat. Masalah stratifikasi sosial merupakan masalah yang menyangkut perbedaan dan derajat terhadap individu dalam masyarakat.
Ukuran perbedaan dapat dilihat dari kekuasaan dan kekayaan, sehingga orang memiliki keduanya dianggap memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari yang lain. Hal senada juga dikemukakan oleh Sorokin dalam Soekanto (1992 : 251) sebagai berikut :
Sistem lapisan merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur, barang siapa yang memiliki sesuatu yang berharga dalam jumlah yang sangat banyak, dianggap masyarakat yang berkedudukan dalam lapisan atas. Mereka yang hanya sedikit sekali atau tidak memiliki sesuatu yang berharga dalam pandangan masyarakat mempunyai kedudukan yang lebih rendah.

Perbedaan kedudukan dalam suatu masyarakat akan lebih jelas bila melihat kecenderungan orang-orang yang menganggap dirinya memiliki kedudukan tertentu untuk bergaul dengan orang-orang dari kalangan mereka sendiri.
Pelapisan sosial masyarakat di Kabupaten Barru pada umumnya sama dengan pelapisan sosial dengan masyarakat Bugis pada umumnya. Menurut Mattulada (1995 : 30), pelapisan sosial masyarakat Bugis dibedakan kedalam tiga lapisan, yaitu :
1.   Anakarung (Lapisan raja beserta sanak-keluarganya; kaum bangsawan)
2.   Maradeka (= Lapisan msyarakat jelata atau orang kebanyakan)
3.   Ata (= Sahaya)

Dalam golongan pertama, yaitu Anakarung yang merupakan golongan pertama sering dibagi lagi menjadi tiga bagian, yaitu Arung, Ana Cera’, dan Tau Deceng. Sehingga penggolongan lapisan masyarakat menjadi Lima golongan seperti yang dikemukakan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Barru, Seksi Kebudayaan (1983 : 44), tentang stratifikasi sosial masyarakat Barru sebagai berikut :

1.   Arung (bangsawan tinggi)
2.   Ana Cera’ (bangsawan menengah)
3.   Tau Deceng (bangsawan rendah)
4.   Tau Sama’ (masyarakat biasa)
5.   Ata’ (budak belian)

Berdasarkan pelapisan yang telah dikemukakan di atas, jelas terlihat adanya keterkaitan sosial diantara semua golongan tersebut. Biasanya golongan bangsawan merupakan penguasa sekaligus sebagai pemegang tampuk pemerintahan sekaligus memiliki tingkat sosial yang lebih tertinggi atau teratas dalam pelapisan masyarakat. Sementara golongan rakyat kebanyakan atau To Sama’ merupakan orang-orang yang bukan bangsawan. Sedangkan golongan Ata’ adalah budak, yaitu orang-orang tawanan perang, orang yang diperjualbelikan, orang yang tidak membayar hutang dan orang yang melanggar pantangan adat, dan merupakan golongan dengan status sosial paling rendah.
Dalam kehidupan sosial terutama yang berhubungan dengan urusan perjodohan pada masa lampau di Barru, dimana seorang wanita hanya boleh menikah dengan laki-laki yang berasal dari lapisan sosial yang sederajat atau lebih tinggi, sebaliknya bangsawan laki-laki boleh-boleh saja menikah dengan wanita lain yang sederajat maupun yang lebih rendah lapisan sosialnya.

Namun seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, menyebabkan istilah-istilah tersebut hampir sudah tidak ditemukan lagi di tengah-tengah masyarakat. Dalam pergaulan sehari-hari sudah tidak nampak jelas lapisan masyarakat ini. Tetapi di lain pihak muncul pelapisan baru dalam masyarakat dimana orang yang dianggap memiliki kedudukan tinggi adalah orang yang memiliki kekayaan, jabatan dan pendidikan yang tinggi. Sementara golongan yang lain hanya menjadi golongan biasa yang umumnya ada dalam masyarakat.