Persekutuan Limae Ajattappareng terbentuk untuk mempererat kerjasama
perdagangan, terutama perdagangan beras dan kayu cendana. Dalam rangka menjaga
eksistensi persekutuan kelima kerajaan (Kerajaan Suppa, Kerajaan Sidenreng,
Kerajaan Sawitto, Kerajaan Allita, dan Kerajaan Rappang) membuat suatu ikrar
sebagai salah satu wuud kebersamaan. Disamping itu, kerajaan yang termasuk
dalam persekutuan tersebut melakukan kawin mawin diantara raja-rajanya. Dengan
demikian, secara teoritis kerajaan yang masuk dalam persekutuan tersebut dapat
langgeng, karena diikat oleh adanya pertalian darah atau geneologi sebagai alat
perekat diantara kerajaan-kerajaan Limae
Ajattappareng.
Isi perjanjian Persekutuan Limae Ajattappareng diibaratkan sebuah
rumah yang memiliki lima kamar. Kelima kamar tersebut, setiap raja dan rakyat
bebas menempati sesuai keinginannya. Perjanjian tersebut memberikan indikasi
tentang adanya kebebasan setiap rakyat dari kelima kerajaan untuk berusaha
tanpa meminta izin terlebih dahulu pada kerjaan tertentu. Sekaligus rakyat dan
raja dapat melakukan perkawinan diantara mereka, tanpa dianggap melanggar adat
istiadat dari setiap kerajaan yang masuk dalam persekutuan (Pabitjara, 2006:
18).
Tujuan Persekutuan Limae Ajattappareng adalah kecenderungan
pada kerjasama kesejahteraan bersama. Dalam konsepsi persekutuan, tidak ada
keinginan dari kerajaan yang aliansi untuk saling menginsafi. Setiap kerajaan
mempunyai hak yang sama untuk saling memperingati, menunjukkan hal yang baik,
sesuai falsafah orang bugis mali,
siparappe, malilu sipakainge, rebba sipatokkong. Artinya; hanyut
diselamatkan, lupa diingatkan, jatuh dibantu. Dengan demikian, setiap kerajaan
mempunyai kedudukan yang sama dalam persekutuan tersebut, baik secara internal
maupun eksternal. Perjanjian untuk mengadakan persekutuan diadakan di suatu
tempat di wilayah Kerajaan Suppa. Maka secara resmi lahir atau berdirinya
persekutuan yang disebut Limae
Ajattappareng yang bersifat kekeluargaan.
Keberadaan kerajaan Suppa di
Sulawesi Selatan sebagai pemegang hegemoni perdagangan dilatari oleh jalur
perdagangan Nusantara yang semakin ramai. Hal itu, berkaitan dengan terbukanya
Laut Cina Selatan sebagai jalur perdagangan Utara-Selatan, sehingga dapat
menghubungkan secara langsung antara Cina dengan Kepulauan Nusantara dan India
pada awal abad XVI. Disisi lain, yang membuat jalur perdagangan dan pelayaran
semakin ramai yakni ditemukannya kompas sebagai suatu alat yang dapat digunakan
sebagai penunjuk arah mata angin, sehingga pelayaran pesisir pantai sudah
berani mengarungi lautan bebas (Pelras, 2006: 303).
Terbentuknya Persekutuan Limae Ajattappareng pada abad XVI yaitu
pada masa pemerintahan La Makkarawie Datu Suppa yang diperkirakan pada 1523 M.
Pernyataan ini sesuai dengan data yang diperoleh dari lontara yang menyatakan bahwa “Seppulo
dua taung rumpa’nna arajangge ri malaka, na ripammulani assiajingge riasengge Limae
Ajattappareng” (lontara, Arung
Bacukiki) (Pabitjara, 2006: 125). Masing-masing kerajaan yang mengadakan
persekutuan tersebut mempunyai hak dan kewajiban untuk tetap menjaga hubungan
atau kerjasama, terutama dalam bidang ekonomi, politik serta budaya sebagai
wujud kebersamaan. Disisi lain, kerajaan yang bersekutu tidak diikuti oleh
ambisi untuk saling menguasai antara satu denga yang lainnya.
Masing-masing kerajaan yang
berikrar diawali raja Pateddunggi dari Addoawang Sidenreng, La Paleteyangi Raja
atau Datu Sawitto, La Makkarawie Datu Suppa, La Pakkolongngi Arung Rappeng dan juga
sebagai Arung Allita. Isi dari ikrar Persekutuan Limae Ajattappareng berdasarkan lontara,
sebagai berikut:
Naiya Limae Ajattappareng silellang bola
lima bili. Kegikegi napoji ininna iyanatu mauttamai ananna ta timpa tange’na
Limae nassu ananna, tenri sokkang ri teyana anae tenri lawa ri maelona, sijellokang
jari tana, tessitaro pakka seseyang maruma siliwekkang makkaja sipalalo, malilu
sipakainge, siakkoling-kolingeng sipakainge rideceng paggangkana, rebba
sipatokkong, mali siparappe, tessijollereng rappo-rappo, tessi
akkellang-kellangeng limae massiyajing, tessiyenrekang ribulu, tessinoreng ri
lompo, deceng tauru ja’tadwai tessiyasengeng deceng rekko cedde’mi padecengngi,
iyapa namadeceng napadecengi idi limae, tapada poadai tapadai bicarakki pada
tuttungi peta mekkeda siyatepperengngi mappau tessipabbelleang, malasai seddi,
mabburai eppa, malasai dua mabburai tellu, malasai tellu mabburai dua, malasai
eppa mabburai seddi, tessitudangeng massiyajing lima tassapai unganna gangkanna
talolongenna deceng paggangkanna iya nasiturusinna ikkeng Limae Ajattappareng
naripadduppa iya riajjancingengnge”.
Artinya:
Kerajaan
Limae Ajattappareng diibaratkan
seperti rumah yang mempunyai lima kamar, dimana salah satu dari lima kamar yang
disukai itulah yang dimasuki. Terbuka pintu untuk keluar masuk bagi
anak-anaknya, dan tidak ada paksaan serta keinginan untuk menghalangi
kemauannya. Masing-masing menentukan batas daerah, dan mempunyai kebebasan
untuk mencari nafkah, saling memperingati dalam kebajikan dan menegur yang
salah. Bahkan tidak ada keinginan untuk berhenti menyampaikan kebaikan. Bila
jatuh harus saling menegakkan, jika hanyut harus saling tolong menolong. Tidak
ada keinginan untuk menunjukkan keburukan dari kelima bersaudara. Kelimanya
harus secara bersama-sama mendaki ke gunung, dan menuruni lembah. Adapun kebaikan
dan keburukan ditanggung bersama. Tidak dianggap baik jika hanya sebagian
menikmatinya. Akan dikatakan baik, jika dinikmati bersama. Bila ada masalah,
maka kelimanya harus membicarakan persoalan itu, masing-masing harus hadir.
Saling menentukan dan mentaati batas dalam berbicara, saling mempercayai dan
tidak akan berdusta. Sakit satu, empat yang akan mencari obat, sakit dua, tiga
yang mencari akan obat, sakit tiga, dua yang akan mencari obat, sakit empat,
satu yang akan mencari obat. Kelima yang bersaudara bersatu dan berusaha untuk
mencari kebajikan. Kesepakatan ini merupakan ikrar dari Limae Ajattappareng yang harus dibuktikan sesuai ikrar dalam
kehidupan kelak (Lontara, H. Paewa)
(Pabitjara, 2006: 126-127).
Berdasarkan isi ikrar tersebut, bahwa kelima kerajaan
mempunyai hak dan wewenang serta kebebasan mengembangkan kerajaannya. Kelima
kerajaan yang bersekutu tidak ada salah satu diantara mereka yang mentolerir
atau dapat memegang hegemoni di Persekutuan Limae
Ajattappareng. Dengan kata lain, bahwa masing-masing raja mempunyai
kedaulatan atas wilayah kerajaannya,sebagaimana sebelum terjadi persekutuan
tersebut. Bahkan rakyat dalam persekutuan mempunyai kebebasan mencari nafkah di
kerajaan lain tanpa mendapat gangguan dan mempunyai kemerdekaan untuk menetap
pada kerajaan dalam persekutuan tersebut tanpa meminta izin terlebih dahulu.
Status dan kedudukan dari kelima
kerajaan adalah sama dalam menentukan kebijakan dalam persekutuan itu. Apabila
didasarkan pada aturan kerajaan, maka Kerjaan Suppa dan Kerajaan Sidenreng
dianggap sebagai yang tertua dalam persekutuan itu. Sedangkan kerajaan lain,
seperti Kerajaan Rappeng, Kerajaan Allita dan Kerajaan Sawitto dianggap sebagai
saudara muda dalam persekutuan ini. Akan tetapi, segala keputusan yang akan
diambil, biasanya kelima kerajaan diundang dalam suatu rapat kerajaan untuk
menentukan kebijakan, terutama menyangkut masalah yang dihadapi, tindakan harus
dilakukan untuk perkembangan dari Persekutuan Limae Ajattappareng.