Tuesday 17 March 2015

PERSEKUTUAN LIMAE AJATTAPPARENG

Persekutuan Limae Ajattappareng terbentuk untuk mempererat kerjasama perdagangan, terutama perdagangan beras dan kayu cendana. Dalam rangka menjaga eksistensi persekutuan kelima kerajaan (Kerajaan Suppa, Kerajaan Sidenreng, Kerajaan Sawitto, Kerajaan Allita, dan Kerajaan Rappang) membuat suatu ikrar sebagai salah satu wuud kebersamaan. Disamping itu, kerajaan yang termasuk dalam persekutuan tersebut melakukan kawin mawin diantara raja-rajanya. Dengan demikian, secara teoritis kerajaan yang masuk dalam persekutuan tersebut dapat langgeng, karena diikat oleh adanya pertalian darah atau geneologi sebagai alat perekat diantara kerajaan-kerajaan Limae Ajattappareng.
Isi perjanjian Persekutuan Limae Ajattappareng diibaratkan sebuah rumah yang memiliki lima kamar. Kelima kamar tersebut, setiap raja dan rakyat bebas menempati sesuai keinginannya. Perjanjian tersebut memberikan indikasi tentang adanya kebebasan setiap rakyat dari kelima kerajaan untuk berusaha tanpa meminta izin terlebih dahulu pada kerjaan tertentu. Sekaligus rakyat dan raja dapat melakukan perkawinan diantara mereka, tanpa dianggap melanggar adat istiadat dari setiap kerajaan yang masuk dalam persekutuan (Pabitjara, 2006: 18).
Tujuan Persekutuan Limae Ajattappareng adalah kecenderungan pada kerjasama kesejahteraan bersama. Dalam konsepsi persekutuan, tidak ada keinginan dari kerajaan yang aliansi untuk saling menginsafi. Setiap kerajaan mempunyai hak yang sama untuk saling memperingati, menunjukkan hal yang baik, sesuai falsafah orang bugis mali, siparappe, malilu sipakainge, rebba sipatokkong. Artinya; hanyut diselamatkan, lupa diingatkan, jatuh dibantu. Dengan demikian, setiap kerajaan mempunyai kedudukan yang sama dalam persekutuan tersebut, baik secara internal maupun eksternal. Perjanjian untuk mengadakan persekutuan diadakan di suatu tempat di wilayah Kerajaan Suppa. Maka secara resmi lahir atau berdirinya persekutuan yang disebut Limae Ajattappareng yang bersifat kekeluargaan.
Keberadaan kerajaan Suppa di Sulawesi Selatan sebagai pemegang hegemoni perdagangan dilatari oleh jalur perdagangan Nusantara yang semakin ramai. Hal itu, berkaitan dengan terbukanya Laut Cina Selatan sebagai jalur perdagangan Utara-Selatan, sehingga dapat menghubungkan secara langsung antara Cina dengan Kepulauan Nusantara dan India pada awal abad XVI. Disisi lain, yang membuat jalur perdagangan dan pelayaran semakin ramai yakni ditemukannya kompas sebagai suatu alat yang dapat digunakan sebagai penunjuk arah mata angin, sehingga pelayaran pesisir pantai sudah berani mengarungi lautan bebas (Pelras, 2006: 303).
Terbentuknya Persekutuan Limae Ajattappareng pada abad XVI yaitu pada masa pemerintahan La Makkarawie Datu Suppa yang diperkirakan pada 1523 M. Pernyataan ini sesuai dengan data yang diperoleh dari lontara yang menyatakan bahwa “Seppulo dua taung rumpa’nna arajangge ri malaka, na ripammulani assiajingge riasengge Limae Ajattappareng” (lontara, Arung Bacukiki) (Pabitjara, 2006: 125). Masing-masing kerajaan yang mengadakan persekutuan tersebut mempunyai hak dan kewajiban untuk tetap menjaga hubungan atau kerjasama, terutama dalam bidang ekonomi, politik serta budaya sebagai wujud kebersamaan. Disisi lain, kerajaan yang bersekutu tidak diikuti oleh ambisi untuk saling menguasai antara satu denga yang lainnya.
Masing-masing kerajaan yang berikrar diawali raja Pateddunggi dari Addoawang Sidenreng, La Paleteyangi Raja atau Datu Sawitto, La Makkarawie Datu Suppa, La Pakkolongngi Arung Rappeng dan juga sebagai Arung Allita. Isi dari ikrar Persekutuan Limae Ajattappareng berdasarkan lontara, sebagai berikut:
Naiya Limae Ajattappareng silellang bola lima bili. Kegikegi napoji ininna iyanatu mauttamai ananna ta timpa tange’na Limae nassu ananna, tenri sokkang ri teyana anae tenri lawa ri maelona, sijellokang jari tana, tessitaro pakka seseyang maruma siliwekkang makkaja sipalalo, malilu sipakainge, siakkoling-kolingeng sipakainge rideceng paggangkana, rebba sipatokkong, mali siparappe, tessijollereng rappo-rappo, tessi akkellang-kellangeng limae massiyajing, tessiyenrekang ribulu, tessinoreng ri lompo, deceng tauru ja’tadwai tessiyasengeng deceng rekko cedde’mi padecengngi, iyapa namadeceng napadecengi idi limae, tapada poadai tapadai bicarakki pada tuttungi peta mekkeda siyatepperengngi mappau tessipabbelleang, malasai seddi, mabburai eppa, malasai dua mabburai tellu, malasai tellu mabburai dua, malasai eppa mabburai seddi, tessitudangeng massiyajing lima tassapai unganna gangkanna talolongenna deceng paggangkanna iya nasiturusinna ikkeng Limae Ajattappareng naripadduppa iya riajjancingengnge”.
Artinya:
Kerajaan Limae Ajattappareng diibaratkan seperti rumah yang mempunyai lima kamar, dimana salah satu dari lima kamar yang disukai itulah yang dimasuki. Terbuka pintu untuk keluar masuk bagi anak-anaknya, dan tidak ada paksaan serta keinginan untuk menghalangi kemauannya. Masing-masing menentukan batas daerah, dan mempunyai kebebasan untuk mencari nafkah, saling memperingati dalam kebajikan dan menegur yang salah. Bahkan tidak ada keinginan untuk berhenti menyampaikan kebaikan. Bila jatuh harus saling menegakkan, jika hanyut harus saling tolong menolong. Tidak ada keinginan untuk menunjukkan keburukan dari kelima bersaudara. Kelimanya harus secara bersama-sama mendaki ke gunung, dan menuruni lembah. Adapun kebaikan dan keburukan ditanggung bersama. Tidak dianggap baik jika hanya sebagian menikmatinya. Akan dikatakan baik, jika dinikmati bersama. Bila ada masalah, maka kelimanya harus membicarakan persoalan itu, masing-masing harus hadir. Saling menentukan dan mentaati batas dalam berbicara, saling mempercayai dan tidak akan berdusta. Sakit satu, empat yang akan mencari obat, sakit dua, tiga yang mencari akan obat, sakit tiga, dua yang akan mencari obat, sakit empat, satu yang akan mencari obat. Kelima yang bersaudara bersatu dan berusaha untuk mencari kebajikan. Kesepakatan ini merupakan ikrar dari Limae Ajattappareng yang harus dibuktikan sesuai ikrar dalam kehidupan kelak (Lontara, H. Paewa) (Pabitjara, 2006: 126-127).
Berdasarkan isi ikrar tersebut, bahwa kelima kerajaan mempunyai hak dan wewenang serta kebebasan mengembangkan kerajaannya. Kelima kerajaan yang bersekutu tidak ada salah satu diantara mereka yang mentolerir atau dapat memegang hegemoni di Persekutuan Limae Ajattappareng. Dengan kata lain, bahwa masing-masing raja mempunyai kedaulatan atas wilayah kerajaannya,sebagaimana sebelum terjadi persekutuan tersebut. Bahkan rakyat dalam persekutuan mempunyai kebebasan mencari nafkah di kerajaan lain tanpa mendapat gangguan dan mempunyai kemerdekaan untuk menetap pada kerajaan dalam persekutuan tersebut tanpa meminta izin terlebih dahulu.

Status dan kedudukan dari kelima kerajaan adalah sama dalam menentukan kebijakan dalam persekutuan itu. Apabila didasarkan pada aturan kerajaan, maka Kerjaan Suppa dan Kerajaan Sidenreng dianggap sebagai yang tertua dalam persekutuan itu. Sedangkan kerajaan lain, seperti Kerajaan Rappeng, Kerajaan Allita dan Kerajaan Sawitto dianggap sebagai saudara muda dalam persekutuan ini. Akan tetapi, segala keputusan yang akan diambil, biasanya kelima kerajaan diundang dalam suatu rapat kerajaan untuk menentukan kebijakan, terutama menyangkut masalah yang dihadapi, tindakan harus dilakukan untuk perkembangan dari Persekutuan Limae Ajattappareng.

No comments:

Post a Comment