Sebagai sebuah kawasan
strategis, keberadaan kerajaan-kerajaan yang ada di Sinjai menjadi incaran dari
kekuatan besar yang ada. Pada masa itu kerajaan-kerajaan di Sinjai
terpilah-pilah tampa ada tokoh pemersatu yang menjadi pemegang kekuasaan.
Keadaan tersebut rawan menimbulkan konflik diantara mereka pada masa ekspansi
kerajaan Gowa-Tallo, dan di sisi lain Kerajaan Bone juga sedang gencar-gencarnya
memasukkan pengaruhnya pada kerajaan-kerajaan yang ada di Sinjai.
Untuk merekatkan hubungan itu, maka Raja Bone ke VII
La Tenriawe Bongkangnge membentuk suatu persekutuan yang akhirnya dikenal
dengan Lamung Patue ri Topekkong
sebagai upaya menahan laju ekspansi kerajaan Gowa-Tallo yang telah menaklukkan Bulukumba
pada tahun 1511. Perjanjian itu sendiri menjadikan kerajaan kembar Tondong,
Bulo-Bulo dan Lamatti bersekutu dengan nama Tellu Limpoe. Perjanjiannya dikenal
dengan Lamung Patue ri Topekkong.
Antara mereka tidak ada sebagai pemimpin, dalam harapannya disebutkan dengan Dua Temmallaiseng, Tellu Temmassarang. Di wilayah pegunungan juga membentuk suatu
aliansi yang disebut dengan Pitu Limpoe
yang dimotori oleh Arung Turungeng cucu dari To-Manurung Lawaru.
Dengan terbentuknya dua
aliansi ini mejadikan Sinjai memiliki nilai tawar yang sangat tinggi, sehingga
hampir tidak pernah manjadi daerah taklukan secara lansung dari kerajaan
Gowa-Tallo maupun kerajaan Bone. Sinjai diposisikan sebagai passiajingeng. Posisi semacam ini tetap
diakui Gowa-Tallo maupun Bone walaupun Bulo-Bulo pernah dalam perangnya
menghadapi Bone dibawah pimpinan Raja Gowa-Tallo ke X Manrio Gau Daeng
Tunipallangga Ulaweng Bonto Dillo yang berkuasa di Gowa-Tallo pada tahun 1564.
Perjanjian Topekkong sendiri diikuti Arung Tondong yang bernama I Yottong Daeng
Rampa, Raja Bulo-Bulo I Lamappasokko dan Lamatti La Padenrengi Tadampalie, pada
tahun 1564. Mediator dalam perjanjian ini adalah Kajao Laliddong, seorang
negarawan kerajaan Bone.
No comments:
Post a Comment